Miliarder Dunia Kini Berlomba Kuasai Pangan. Bagaimana dengan Indonesia Dalam Menghadapi Revolusi Pertanian Global?

Kutimhebat – Gelombang investasi besar-besaran di sektor pertanian oleh para miliarder teknologi dunia – termasuk nama-nama seperti Bill Gates, Jeff Bezos, Jack Ma, Mark Zuckerberg, hingga Elon Musk – mengirimkan sinyal yang jelas tentang meningkatnya kekhawatiran terhadap krisis pangan global, dampak perubahan iklim, dan rapuhnya rantai pasok. Para visioner di balik era digital kecerdasan buatan, dan metaverse ini kini menancapkan modalnya di sektor yang paling fundamental bagi kehidupan manusia yakni pangan.

Fenomena ini, yang awalnya mungkin terlihat sebagai langkah diversifikasi investasi, menyimpan pesan mendalam. Di tengah pesatnya inovasi di dunia maya, para titan teknologi ini menyadari bahwa fondasi peradaban tetap bertumpu pada ketersediaan pangan yang berkelanjutan. Teknologi mungkin revolusioner, namun perut yang lapar tidak mengenal algoritma, demikian inti dari pergeseran fokus yang mencolok ini.

Pendiri Microsoft, Bill Gates, melalui perusahaannya Cascade Investment, kini menjadi pemilik lahan pertanian terluas di AS, mencapai ratusan ribu acre. Ia menguasai lebih dari 242 ribu hingga 275 ribu acre lahan pertanian yang tersebar di 18-20 negara bagian. Pada tahun 2023 saja, ia menambah kepemilikannya dengan membeli 2.100 hektar tanah di North Dakota senilai US$13,5 juta. Investasinya tidak hanya pada kepemilikan lahan, tetapi juga pada riset dan pengembangan bibit unggul tahan iklim, teknologi irigasi pintar, dan praktik pertanian regeneratif. Keyakinannya kuat: penguasaan pangan adalah kunci stabilitas global di tengah tantangan perubahan iklim.

Dalam berbagai kesempatan, Gates menegaskan bahwa pangan akan menjadi tantangan terbesar dunia dalam menghadapi perubahan iklim. Ia meyakini, “Siapa yang menguasai pangan, akan memegang kunci stabilitas global.”

Tak mau ketinggalan, pendiri Amazon, Jeff Bezos, juga merambah sektor pertanian dengan kepemilikan sekitar 420 ribu acre lahan pertanian, sebagian besar di Texas. Melalui Bezos Earth Fund, ia telah mengucurkan dana hingga US$10 miliar untuk berbagai proyek mitigasi perubahan iklim, termasuk pertanian regenerative. Melalui investasinya di Plenty Unlimited., sebuah startup vertical farming yang pernah mencapai valuasi hampir US$ 1 miliar. Yang lebih mengejutkan, raja e commerce ini juga menanamkan sekitar US$ 60 juta pada riset daging dan protein sintetis berbasis laboratorium. mengisyaratkan ambisi untuk mengamankan rantai pasok pangan di masa depan, sejalan dengan dominasinya di sektor distribusi barang melalui Amazon.

Setelah sempat menghilang dari sorotan publik, pendiri Alibaba, Jack Ma, pasca kembalinya ke publik, fokus pada digitalisasi pertanian di Tiongkok. Melalui Alibaba Cloud dan Digital Agriculture Base, ia memberdayakan petani kecil dengan analisis data cuaca dan tanah, serta menghubungkan mereka langsung ke pasar digital melalui platform e-commerce, memangkas peran perantara dan mendorong pertanian organik.

Mark Zuckerberg, otak di balik Facebook dan Meta, memilih pendekatan riset melalui Chan Zuckerberg Initiative, mendanai pengembangan bioteknologi tanaman dan pertanian presisi untuk menciptakan pangan yang lebih efisien dan tahan terhadap perubahan iklim.

Bahkan Elon Musk, yang dikenal dengan ambisi kolonisasi Mars-nya, juga tidak luput dari persoalan pangan. SpaceX dan Tesla Energy membiayai riset pertanian berbasis ruang tertutup (closed-loop farming) yang dirancang untuk mendukung kehidupan di luar angkasa. Panel surya Tesla juga dioptimalkan untuk memberi daya pada pertanian modern agar lebih hemat energi. Musk memahami, sebelum manusia bisa hidup di planet lain, mereka harus terlebih dahulu memecahkan masalah pangan.

Tidak ketinggalan, investor legendaris Warren Buffett, melalui putranya Howard Buffett, fokus pada pertanian konservatif dan regenerasi tanah di Amerika Latin dan Afrika yang telah kehilangan kesuburan akibat eksploitasi berlebihan, memperlakukan lahan bukan sekadar komoditas, melainkan sebagai aset strategis jangka panjang yang keberlanjutannya harus dijaga.

Mengapa Para Miliarder Ini Beralih ke Pertanian?

Dorongan di balik fenomena ini adalah kombinasi dari krisis pangan global yang mengkhawatirkan dan kalkulasi bisnis yang visioner. Laporan FAO dan WFP mencatat 735 juta orang mengalami kelaparan kronis pada tahun 2023, peningkatan tajam yang dipicu oleh pandemi, konflik Rusia-Ukraina, dan kelangkaan pupuk. Perubahan iklim juga memperparah degradasi tanah dan kelangkaan air.

Dalam kondisi seperti ini, investasi pangan bukan hanya logis, tetapi vital. Harga lahan pertanian cenderung stabil dan terus naik dalam jangka panjang, sementara permintaan akan pangan tidak pernah surut.

Para miliarder teknologi kini menyadari bahwa pangan adalah kebutuhan dasar yang tak tergantikan, dan lahan adalah sumber daya paling strategis. Saat raksasa teknologi dunia mengokohkan pijakan di sektor ini, ada pelajaran penting bagi negara-negara agraris seperti Indonesia. Jika Indonesia ingin tidak hanya “modern secara citra” tetapi juga mandiri secara pangan, sudah saatnya merangkul teknologi ke dalam pertanian secara serius, bukan sebaliknya.

Implikasi bagi Indonesia Pasca Kesepakatan Prabowo-Trump

Pergeseran global ini terjadi di tengah dinamika politik dan ekonomi yang menarik bagi Indonesia, terutama pasca adanya potensi kesepakatan antara Presiden Indonesia, Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump. Meskipun rincian kesepakatan terkait sektor pertanian belum terungkap, langkah para raksasa teknologi global ini menjadi cerminan penting bagi kesiapan Indonesia dalam menghadapi persaingan kualitas pangan di kancah internasional.

Sebagai negara agraris dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain kunci dalam rantai pasok pangan global. Namun, tantangan juga membentang luas. Investasi besar-besaran dalam teknologi pertanian oleh para miliarder dunia mengindikasikan standar kualitas dan efisiensi produksi pangan yang semakin tinggi.

Pertanyaan krusialnya adalah: seberapa siap pertanian Indonesia untuk bersaing dalam era ini?

Kesepakatan antara Prabowo dan Trump berpotensi membuka pintu bagi investasi dan transfer teknologi pertanian dari AS. Namun, Indonesia perlu strategi yang jelas dan implementasi yang efektif untuk memastikan bahwa petani lokal dapat mengadopsi teknologi modern, meningkatkan produktivitas, dan menghasilkan pangan berkualitas tinggi yang mampu bersaing di pasar global.

Tanpa langkah proaktif dalam modernisasi pertanian, peningkatan kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian, dan investasi dalam infrastruktur pendukung, Indonesia berisiko tertinggal dan hanya menjadi konsumen di tengah pasar pangan global yang semakin kompetitif. Momentum pasca kesepakatan internasional harus dimanfaatkan untuk memperkuat fondasi pertanian nasional, memastikan ketahanan pangan, dan bahkan menjadikan Indonesia sebagai eksportir pangan yang handal.

Kisah para miliarder teknologi yang beralih ke pertanian adalah pengingat yang kuat: pangan adalah masa depan. Bagi Indonesia, ini adalah panggilan untuk bertindak, merangkul inovasi, dan memastikan sektor pertaniannya tidak hanya “modern secara citra”, tetapi juga tangguh dan berdaya saing global.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *