Wajah Kebohongan Akademik

Opini, KutimHebat.Com- Di tengah maraknya gelar akademik yang berseliweran di ruang publik, saya kerap ditanya: mengapa tiba-tiba banyak orang menyandang gelar tinggi tanpa jejak proses akademik yang terlihat? Pertanyaannya tampak sederhana, namun sesungguhnya menyentuh luka lama dunia pendidikan kita: banalitas simbol akademik.

Ironisnya, praktik ini kerap dilakukan oleh mereka yang justru memiliki posisi terhormat atau latar ekonomi mapan. Mereka haus akan pengakuan simbolik—dan dalam semalam, “wisuda” pun digelar, lengkap dengan toga dan gelar-gelar yang nyaris menutupi selembar kertas namanya.

Saya sempat mencoba memberikan penjelasan rasional, bahwa mungkin mereka menempuh jalur riset atau pendidikan non-reguler. Namun kawan saya menyanggah: “Itu bukan jalur riset, bahkan tak pernah terdengar proses akademiknya.” Saya pun terdiam. Realitas kadang tak perlu dibantah, cukup kita renungi.

Hari ini, gelar bukan lagi tanda prestasi, melainkan lambang prestise. Maka tak heran jika gelar palsu menjamur: dibeli, bukan diperoleh melalui perjuangan. Ada yang tiba-tiba menjadi “doktor” setelah seminggu mengikuti kuliah daring, atau menyandang “profesor” bukan karena kontribusi ilmiah, melainkan hasil lobi dan koneksi.

Saya pernah berjumpa dengan seseorang yang mengaku doktor. Tapi ketika berdiskusi, jawabannya begitu kosong dan membingungkan. Bukan ingin merendahkan, namun saya merasa pilu. Sebab menjadi doktor seharusnya adalah hasil dari pergulatan intelektual yang panjang, bukan hasil dari pemesanan cepat kilat.

Fenomena ini subur karena kita hidup dalam masyarakat yang mengagungkan simbol. Semakin panjang gelar seseorang, semakin dianggap pintar. Padahal esensi keilmuan tak terletak pada huruf di belakang nama, melainkan pada integritas berpikir dan kebijaksanaan bersikap.

Yang membuat miris, gelar palsu bukan sekadar soal etika pribadi, melainkan berimbas pada keputusan-keputusan publik. Ketika individu dengan kapasitas palsu masuk ke ruang-ruang pengambilan keputusan, maka yang dirugikan adalah masyarakat luas. Sebuah bentuk kebohongan struktural yang dampaknya tidak sepele.

Gelar akademik seharusnya menjadi penanda dari kerja intelektual yang jujur dan disiplin. Ketika ia menjadi komoditas, maka rusaklah semangat meritokrasi yang selama ini kita bangun. Maka bukan hanya universitas yang dirugikan, tapi kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri yang tercederai.

Kita membutuhkan ketegasan moral: berhenti memberi panggung pada kepalsuan. Ruang publik yang sehat lahir dari kejujuran dan keotentikan. Karena yang sejati, meski lambat, akan menemukan tempatnya sendiri. Sementara yang palsu, cepat atau lambat, akan tersingkir oleh waktu.

Ilmu bukan sekadar angka di atas kertas, bukan pula pernak-pernik simbolik di kartu nama. Ia adalah lentera yang menuntun manusia keluar dari kegelapan. Dan pencari ilmu sejati bukanlah mereka yang mengejar kemegahan duniawi, melainkan mereka yang menjadikan ilmu sebagai jalan memperbaiki diri dan melayani sesama.

Lebih baik menjadi manusia biasa yang jujur dan rendah hati, daripada menjadi sosok bergelar panjang namun kehilangan makna. Sebab pada akhirnya, bukan gelar yang berbicara, melainkan kualitas pikiran dan ketulusan hati

Oleh || Dr. Muslimin.M.Si ; Pemerhati Pendidikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *